Updated: 15 Mei 2021
Trashy Fashion: Limbah Fashion Yang Terlupakan.
Plastik dan turunannya dianggap sebagai ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Gerakan mengurangi plastik bergaung dimana-mana. Tapi ada banyak faktor lain yang turut menyumbang polusi dan mengancam kelangsungan lingkungan hidup. Fashion salah satunya. Kita tidak pernah berpikir kalau kemeja, kaos trendy, jaket bomber dan pakaian yang kita pakai sehari-hari sebetulnya berdampak besar pada lingkungan.
"Fast-fashion:
pakaian murah diproduksi dengan cepat oleh pengecer pasar massal dalam menanggapi tren terbaru."
Tren fast-fashion memicu produksi busana dunia sebesar dua kali lipat. Peningkatan disebabkan oleh pembelian fashion yang meningkat 60 persen setiap tahun dibanding awal abad 21.
Dibalik kesuksesan fast-fashion, terungkap banyak jejak polusi dari proses pembuatan sampai pembuangannya.
Industri fashion sangat bergantung pada ketersediaan bahan mentah. Hampir setiap tahapan dalam rantai proses industri ini melibatkan air. Sebuah kaus berbahan katun misalnya, memerlukan kurang lebih 2.700 liter air untuk proses pembuatannya. Pembuatan setengah kilogram benang sendiri membutuhkan lebih dari 50 liter air. Proses pembuatan 1 helai kaus berbahan katun menggunakan pestisida mencapai 1 kilogram yang berakhir di saluran air. Dan sebagian besar pewarna kain menggunakan pewarna berbahan kimia yang beracun, yang dibuang ke sungai dan berakhir di laut.
Poliester adalah kain paling populer yang digunakan untuk fashion. Bahan ini melepaskan serat mikro yang menambah tingkat limbah plastik di laut. Serat mikro tidak dapat terurai, dan menjadi ancaman serius bagi kehidupan hewan air. Makhluk kecil seperti plankton memakan serat mikro, yang kemudian membuat rantai makanan untuk ikan dan kerang lalu dimakan oleh manusia.
Air limbah industri tekstil yang mengandung bahan kimia berbahaya dibuang ke Sungai Cihaur, anak Sungai Citarum. Sumber: greenpeace.org |
Menurut the UN Alliance for Sustainable Fashion, industri fashion menjadi konsumen air terbesar kedua dan bertanggung jawab atas 8-10% emisi karbon global, lebih besar dari gabungan semua penerbangan internasional dan pengiriman laut. Jika industri ini tidak memperbaiki diri, akan ada peningkatan emisi gas rumah kaca sebesar 50% dalam satu dekade.
BACA JUGA: 10 Fakta Tentang Limbah Industri Fashion
Fast-fashion berkonsep per musim. Biasanya tiap musim berkisar tiga hingga empat bulan sekali dalam setahun. Setiap musim mengeluarkan gaya pakaian baru yang membuat konsumen merasa harus memiliki baju baru untuk terus mengikuti tren. Konsep ini menyebabkan banyak pakaian tren musim lalu yang tidak terpakai lagi dan berakhir di tempat sampah.
Created by Jo Christie Huang |
Limbah fashion merupakan 4 terbesar penyumbang polusi setelah transportasi, perumahan dan makanan. Dari semua limbah tekstil di TPA, 85% adalah produk dari industri fashion. Bagian terburuknya adalah sebagian besar pakaian ini terbuat dari bahan yang tidak dapat terurai.
BACA JUGA: 3 Inspirasi Padu Padan Busana Sehari-hari
Sebagai konsumen, kita dapat mengurangi limbah fashion dengan cara:
1. Jika memungkinkan, perbaiki pakaian daripada membeli yang baru.
2. Donasikan baju yang tidak terpakai.
3. Jual baju yang tidak terpakai di toko online khusus barang second hand atau garage sale.
4. Padu padankan pakaian yang ada di lemari.
5. Upcycle baju lama menjadi barang baru. Misalnya headband dari kain, celemek atau totebag cantik.
Dengan semakin berkembangnya kesadaran konsumen atas dampak buruk dari fast fashion, lambat namun pasti tren slow fashion mulai dilirik oleh konsumen. Tertarik untuk tahu lebih jauh soal slow fashion? Tonton di channel jochristiehuang ini ya.
Sumber: jochristiehuang Channel |
Image by Pexels.com
2 comments
Saya juga, mengurangi sifat konsumtif terhadap fashion. Jaman dulu, rasanya tiap bulan harus ada 1 baju baru. Sekarang mah boro2.. hahhaa.. tunggu udah jelek baru beli lagi. ðŸ¤ðŸ¤ðŸ¤ðŸ¤
BalasHapusSama dong, mbak. Hihihih...
Hapus